Senjawa-Senjawi
Yuditeha, lahir pada 22 Maret 1969. Berasal dari Sragen, Jawa tengah. Menyelesaikan pendidikan lanjutan di De Britto Jogjakarta. Mengambil pendidikan tinggi di Universitas Atmajaya Jogjakarta. Penyuka bakpau dan onde-onde. Senang menggubah puisi-puisi menjadi lagu puisi dan mahir bermain alat musik, khususnya gitar. Kini bergabung dan aktif di Sastra Alit Surakarta.
Gunung Banyak, Padepokan Singensumonar, 1744.
Di sebuah senja yang jingga, Wanggi dan keenam anak buahnya; Yasyar, Barak, Widaga, Braja, Anggit dan Dasih sedang bercengkerama di Wisma Padepokannya.
“Kalian tentu tahu, Padepokan Singensumonar kita ini dikelilingi lima desa yang sangat hebat,” kata Wanggi. “Gesi, Tangen. Sukadana, Mondokan, dan Jenar,” lanjut Wanggi.
“Sukadana?” tanya Barak.
“Dulunya memang desa biasa, sama seperti yang lainnya,” sahut Yasyar, murid Wanggi yang lahir di Sukadana.
“Lalu,” tanya Braja.
“Sukadana tumbuh menjadi desa yang maju, dengan suka rela ke empat desa lainnya menginduk pada desa Sukadana. Sejak saat itu desa Sukadana menjadi sebuah kademangan,” jelas Wanggi.
“Sebentar, Kang.” Sela Anggit.
”Ada apa, Nggit?” Tanya Wanggi.
“Aku jadi ingat kisah yang pernah diceritakan oleh Aryasuta kepadaku,” kata Anggit.
“Aryasuta?”
“Ya. Aryasuta pernah bercerita kisah tentang Kerajaan Gowa.”
“Lalu apa hubungannya dengan Kademangan Sukadana?”
“Terbentuknya Kademangan Sukadana, mirip dengan kisah berdirinya Kerajaan Gowa,” jawab Anggit.
“Bagaimana ceritanya?”
“Ah, panjang ceritanya,”
“Ceritakan singkat saja,” Braja memaksa.
“Katanya, kisah ini terjadi di ibu kota Somaopu, ujung selatan Jazirah Barat Daya Pulau Sulewesi. Dulunya di sana ada sembilan negeri yang sangat hebat. Dalam perjalanan waktu, dari kesembilan negeri itu ada satu negeri yang sangat maju, jauh meninggalkan kedelapan negeri lainnya. Negeri itu dipimpin oleh seorang yang dipercaya sebagai keturunan para dewa. Oleh karena keadaan itulah, dengan suka rela kedelapan negeri lainnya menginduk ke negeri yang maju itu dan akhirnya menjadi sebuah kerajaan besar. Kerajaan besar itu diberi nama Kerajaan Gowa,” terang Anggit.
“Bagaimana dia bisa tahu kisah itu?” tanya Dasih.
“Sebelum Kang Wanggi cerita kalau dia sebenarnya anak raja, aku juga sangsi dengan ceritanya. Baru ketika aku tahu hal itu segalanya menjadi wajar, karena dia pernah bilang kalau cerita itu didapat dari saudaranya yang pernah berkelana sampai di sana.” kata Anggit.
“Pantaslah?”
“Tetapi, aku yakin dimana-mana pasti ada orang hebat di balik semua cerita macam begitu,” kata Yasyar.
“Ya. Begitulah,” kata Widaga.
“Aku rasa kalau di Kademangan Sukadana karena ada kehebatan kepemimpinan Luwika, kepala desa Sukadana yang kini menjadi Demang di sana,” sambut Yasyar lagi.
“Ya. Yasyar benar. Semua itu tidak terlepas dari kehebatan Demang Luwika,” kata Wanggi.
“Ah, Kang Wanggi ini merendah,” kata Barak.
“Maksudmu?” tanya Dasih.
“Keberhasilan Kademangan Sukadana juga atas sepak terjang dari seorang pemuda pemberani,” jawab Barak.
“Siapa dia?” tanya Anggit.
***
Dari kelima desa yang mengitari Gunung Banyak, memang hanya desa Sukadana-lah yang dapat berkembang dengan pesat. Orang bilang: Semua ini karena Luwika. Orang bilang: Luwika bukan orang sembarangan. Dari tangan dingin Luwika, desa Sukadana tumbuh menjadi desa paling maju di daerah bagian utara tanah Sukawati.
Desa Sukadana menjadi lalu-lintasnya para pedagang. Wage merupakan hari pasaran di pasar Sukadana. Oleh Luwika pasar itu dinamai dengan pasar Harjosari. Bila sedang pasaran, orang-orang dari segala penjuru desa datang ke sana, ada yang datang sebagai pembeli, penjual atau hanya sekedar berkujung sekedar untuk melihat-lihat situasi. Dan Luwika, kepala desa Sukadana mempunyai peranan penting di dalamnya. Dia sangat memperhatikan warganya. Segala kebijakan-kebijakan yang dia lakukan selalu mengatasnamakan kepentingan warga. Tidak heran dia sangat dihormati oleh rakyatnya.
Sejak keputusan itu, kediaman Luwika disulap menjadi sebuah kademangan. Meskipun tidak sebesar kraton tapi pembangunan kademangan Sukadana mengikuti konsep pembangunan sebuah kraton. Kademangan Sukadana juga dibangun dengan konsep angka tujuh. Ada tujuh gapura dan tujuh rumah. Bangunan-bangunan kademangan Sukadana dikitari oleh pagar pendek yang terbuat dari batu hitam dengan berelief kehidupan. Pagar itu melingkar berbentuk persegi. Persis di luar dari pagar-pagar itu dikelilingi jalan utama di daerah itu. Secara keseluruhan bangunan kademangan menghadap ke matahari terbit. Sebuah konsep keIlahian orang Jawa.
Dari depan, sisi timur terdapat 3 gapura dan gapura yang utama berada ditengah. Dari belakang, sisi barat terdapat 2 gapura yang masing-masing terdapat di pojok kanan dan kiri. Sedangkan dari arah utara dan selatan, masing-masing terdapat 1 gapura. Di dalam pagar kademangan ada 7 bangunan rumah. Satu rumah utama berada di tengah dan bangunannya lebih besar dari yang lain. Bangunan rumah yang lebih kecil, kembar enam mengelilingi rumah utamanya.
Hampir dari keseluruhan bangunan kademangan Sukadana dibangun dengan bahan batu cadas berwarna hitan. Memberi kesan kuat dan kokoh, seperti halnya bangunan candi-candi zaman dulu. Biaya pembangunan ini selain keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan perdagangan juga termasuk keuntungan dari hasil pertanian di kademangan Sukadana dan sekitarnya. Dan Wanggi merupakan salah satu sosok yang ada di balik kesuksesan pembangunan kademangan Sukadana itu.
***
“Barak, sebentar. Ini ada orang dari Kademangan Sukadana mau bertemu dengan Kang Wanggi,” kata Widaga yang tiba-tiba muncul kembali setelah tadi minta permisi lebih dulu karena ada urusan.
“Suruh dia masuk,” kata Wanggi.
“Selamat sore, Kang.”
“Rupanya kamu, Wiguna. Ada berita apa?” kata Wanggi.
“Demang Luwika menyuruh saya untuk menyerahkan ini kepada Kang Wanggi,” jawab Wiguna.
Wanggi membaca surat dari Demang Luwika. Beberapa waktu kemudian wajahnya berubah menegang, seperti sedang menahan kegeraman kapada sesuatu.
“Ada apa, Kang?” tanya Yasyar.
“Kumpeni,” kata Wanggi singkat.
“Setelah berani membunuh Aryasuta, apalagi ulahnya, Kang?” kata Anggit.
“Mereka akan menjarah Kademangan Sukadana,” jawab Wanggi.
“Maksud, Kang Wanggi”
“Sejak Kraton Kartasura pindah ke Surakata, pihak kraton semakin kentara sekali disetir oleh Kompeni. Masalah ketentuan keharusan upeti yang harus diserahkan tiap kademangan. Padahal upeti itu ternyata tidak sepenuhnya sampai ke Kraton. Kompeni telah mengakali tidak hanya kepada Kraton tetapi juga terhadap rakyat,”
“Dasar perampok,” kata Dasih.
“Dan lebih merisaukanku masalah gadis persembahan yang harus dikirim oleh setiap kademangan,” lanjut Wanggi.
“Kang, sebenarnya apakah pihak kraton benar-benar menentukan seperti itu?” tanya Barak.
“Mungkin tidak sepenuhnya dari kraton. Aku rasa sebagian besar karena akal bulus Kompeni saja,” kata Wanggi.
“Maksudnya, Kang?” tanya Widago.
“Mungkin sama dengan masalah upeti. Tentang gadis persembahan itu juga tidak sepenuhnya sampai ke tangan kraton,” lanjut Wanggi.
“Ada masalah apa di Kademangan Sukadana, Kang?” tanya Yasyar.
“Demang Luwika mengatakan, kompeni minta Senjawa-Senjawi untuk dipersembahkan kepada Raja,” jawab Wanggi dengan nada yang melemah.
“Apa!!” kata mereka hampir serempak.
***
Senjawa-Senjawi, putri kembar Demang Luwika dengan Nyi Ingarsih. Kecantikan mereka setingkat dengan kecantikan dewi, tapi kabarnya keduanya mencintai pria yang sama, dialah Wanggi. Seorang gagah berani, pemimpin di padepokan Singensumonar. Namun bagi Wanggi sendiri hatinya hanya jatuh kepada Senjawa saja, dan memang senyatanya kini keduanya telah menjadi sejoli. Kalau kisah persembahan ini benar-benar akan terlaksana bisa jadi Wanggi tidak akan pernah memiliki Senjawa. Dia akan dipersembahkan kepada Raja.
Meskipun bagi Senjawa-Senjawi dan Luwika hal ini merupakan kisah yang tidak diinginkan terjadi tapi apalah kekuatan mereka untuk menolak kehendak raja. Meskipun mereka sadar hal itu bukan semata murni gagasan dari kraton tapi jika berani menolaknya bisa diartikan mereka menentang kraton.
***
Di taman belakang Kademangan Sukadana, sepasang kekasih; Wanggi dan Senjawa sedang berbincang. Dilihat dari raut wajah mereka, seperti ada sebuah mendung tebal, siap menuntaskan seluruh air yang selama ini masih bisa ditahan.
“Bagaimana, Kakang? Lebih baik aku mati saja.”
“Jangan gegabah, Diajeng.”
“Aku tidak mau berpisah dengan Kakang.”
“Kau ajak aku kemanapun, aku mau. Menderitapun aku mau, asal Kang Wanggi tetap bersamaku.”
“Demikian juga aku, Diajeng, tetapi untuk menghadapi masalah ini seharusnya kita tidak terburu-buru. Kita akan cari jalan keluarnya.”
“Tapi jika terlambat aku akan dibawa paksa Kakang.”
“Ya. Aku tahu. Semoga Gusti menolong kita.”
Tanpa sepengetahuan mereka ternyata Saudara kembar Senjawa, Senjawi diam-diam mendengar pembicaraan mereka. Meski dirinya juga akan dipersembahkan ke kraton tapi dia merasa tidak sesedih seperti halnya sauudaranya, Senjawa. Entah mengapa tiba-tiba hatinya merasa tersentuh dengan ketulusan cinta mereka. Padahal selama ini, setiap melihat keakraban mereka, selalu ada perasaan iri. Senjawa dianggap selalu lebih beruntung dari dirinya.
***
Hari penjemputan telah datang. Pagi-pagi sekali Senjawi telah pergi dari Kademangan. Luwika, Senjawa dan Wanggi sibuk mencari keberadaannya. Hari telah malam, berarti hari itu berlalu tanpa adanya acara penjemputan Senjawa-Senjawi. Anehnya, bersamaan dengan itu, Senjawi juga tidak muncul-muncul keberadaanya. Hari, pekan, bulan dan tahun berlalu, tapi Senjawi tetap tidak kembali pulang.